Mimpi Sang Pipit


Oleh Fitri Yani

“Peringkat lima diraih oleh….” Kata bu Roy wali kelasku saat hari pembagian rapor pagi itu. Seketika jantungku berpacu begitu cepat. Kupejamkan mataku kencang seraya berkata dalam hati “Jangan aku.. jangan aku…”. 

Beberapa bulan ini, aku belajar begitu keras, aku ingin
meraih juara pertama di kelas. Khayalan-khayalan indah tentang hari ini pun sering menjadi lamunanku. Aku sangat berharap bisa mendapatkannya, sejak kecil aku memang sering masuk 10 besar dikelas, tapi belum pernah mendapatkan peringkat satu. Dan juga, ini adalah smester 5, smester terakhir yang kemungkinan besar menjadi penentu diterima atau tidaknya aku di perguruan tinggi pilihanku melalui jalur Bidik misi ini.

Sejak naik ke kelas XII, hampir semua guru yang datang kekelas selalu menyelipkan kata-kata motivasi untuk kami. Memberi kami imajinasi yang tinggi tentang masa depan kami, juga membangun kepercayaan diri yang besar untuk dapat meraihnya. Seperti guru Bahasa Inggris misalnya, saat dia masuk kelas kata motivasi yang ku tangkap adalah “Where there is a wiil, there is a way”  Itu benar, dan aku yakin itu. 

Tapi dari semua guru, yang paling aku ingat adalah kata-kata dari bu Roy, wali kelasku. Dia bercerita tentang kehidupannya, bagaimana keadaan keluarganya, juga tentang perjuangannya untuk mewujudkan mimpinya dari nol. Aku begitu bersemangat mendengarkannya, seakan tekadku bergejolak di dalam dadaku, dan aku ingin berlari.. berlari sekencang-kencangnya untuk menjemput masa depanku. Tak terlintas sedikitpun rasa takut ataupun ragu dalam hatiku. Semangat perjuangan memenuhi
diriku kala itu. Tak pernah sebelumnya aku merasa seoptimis ini tentang mimpi dan masa depanku.
“Tita Handayani..” Lanjut bu guru. Aku membuka mataku perlahan, “Tita Handayani..? Aku? Peringkat lima?” Ucapku dalam hati tak percaya.
“Yee.....” Sorak semua teman-temanku dikelas sambil bertepuk tangan dan melihat ke arahku. Aku mengangkat wajahku dan mencoba memberikan senyuman kecil kepada mereka, meski dalam hati, aku betul-betul tak memercayai ini. Aku bekerja keras selama ini, belajar hingga larut malam bahkan selalu mendapatkan nilai yang bagus pada ulangan harian. Tapi kenapa aku mendapatkan peringkat tujuh? Pertanyaan itu yang sekarang terus berputar di otakku dan membayang-bayangi pikiranku.

Aku berdiri dari kursiku, berjalan dengan setengah berlari menghampiri meja guru dan segera mengambil buku raporku yang disodorkan oleh bu Roy. Dengan cepat aku kembali ke kursiku dan segera membukanya.
“Satu, dua, tiga, empat...... duabelas” Ucapku perlahan ketika menghitung jumlah nilai 8 di raporku sambil menunjuknya dengan telunjukku.
“Dua..” ucapku lagi dengan menunjuk nilai 9.
“Duabelas nilai 8, dua nilai 9, dan selebihnya nilai 7, tidak ada nilai 6, bukankah ini nilai yang bagus? Kenapa aku peringkat 5? Sebagus apa nilai peringkat satu? Apakah mungkin semuanya nilai 8? Atau nilai 9? Aku yakin, pasti ada kesalahan”  Ucapku keras dalam hati.
“Baik anak-anak, pembagian rapor sudah selesai, tingkatkan terus nilai kalian, dan selamat berlibur.. Assalamu’alaikum Wr. Wb.” Kata bu Roy mengakhiri pembagian rapor hari ini.
“Wa’alaikumsalam Wr. Wb. “ Jawab anak-anak serempak.
“Yu, boleh liat rapor kamu sebentar ga?” Tanyaku pada Ayu, dia adalah juara tiga dikelas, tak heran dia memang selalu masuk 10 besar, bahkan beberapa kali mendapatkan peringkat satu.
“Boleh, nih…” Jawabnya sambil memberikan rapornya. Tanpa pikir panjang lagi langsung kubuka rapornya. Dan betapa kagetnya aku. “Delapan nilai 8, dua nilai 9, dan empat nilai 6? Selebihnya nilai 7, bener kan, ada yang salah!”  Ucapku dalam hati dengan yakin.
“Yu, ini rapor kamu, makasi yah..” Ujarku sambil menyodorkan rapornya pada Ayu, sambil tersenyum kecil.
“Iya, sama-sama” jawabnya sambil membalas senyumanku.

Tanpa berlama-lama lagi, aku berlari menyusul bu Roy, menyusuri koridor sekolah, menuju ruang guru. Kuarahkan pandanganku ke segala sudut ruangan mencari satu sosok yang begitu penting bagiku, dan masa depanku saat ini. Tapi tak kutemukan sosok itu, ku hampiri salah satu meja guru, dan memberanikan diri untuk bertanya.

“Maaf bu permisi,” Ujarku pada bu Herlina, guru Bahasa Inggrisku, sambil menyodorkan tanganku untuk menyalaminya..
“Iya, kenapa Ta?” Jawabnya dengan lembut dan di iringi senyumnya yang begitu menenangkan hati.
“Hm.. iya bu, saya mau tanya, bu Roy kemana ya bu? Ko ga ada?” Tanyaku tanpa basa-basi.
“Oh, bu Roy yah.. Bu Roy tadi pamit, katanya ibunya yang di Medan sedang sakit, jadi dia langsung berangkat hari ini ke Medan. Emangnya kenapa sayang?” Kata bu Herlina.
“Oh, gitu ya bu, engga ko bu, engga ada apa-apa, ya udah, makasi banyak ya bu.” Jawabku pelan, lalu berjalan keluar ruangan setelah menyalaminya dan mengucapkan salam.
Ku berjalan perlahan, hingga akhirnya kutemukan seorang gadis seumuranku di depan gerbang. “Adduuhh…”  Ucapku dalam hati sambil menempelkan telapak tangan kananku ke keningku, “Aku lupa, kan udah janji mau pulang bareng sama Gita”. Aku langsung berlari menghampirinya, dan pulang bersama.

***

Sesampainya dirumah, aku langsung menceritakan semua nya kepada ayah dan ibu, lalu mereka menyarankanku untuk menelpon bu Roy dengan handphone ayah.
 “Halo bu, Assalamu’alaikum..” Ucapku mengawali percakapan,
“Iya,” Jawabnya pelan
“Ini Tita bu, “
“Oh, iya Ta, ada apa?” Tanya bu Roy.
“Hm.. ini bu, tadi kan saya dapet peringkat lima, tapi waktu saya liat rapornya Ayu ko nilainya lebih rendah dari saya ya bu? Saya mau pastiin aja bu, mungkin aja ada kesalahan.” Jelasku.
“Oh, ya udah nanti ibu liat lagi yah, soalnya sekarang ibu lagi siap-siap mau pergi, nanti kalo pulang langsung ibu periksa ya Ta..” jawabnya singkat.
“Iya bu, makasih bu..”
“Iya sama-sama”
“Assalamu’alaikum..”Ucapku mengakhiri percakapan.
“Wa’alaikumsalam..” Jawab bu Roy. Dan line telponpun kututup.
“Hm…. Mungkin emang harus lebih bersabar lagi kali yah..”  Gumamku. Setelah itu aku menceritakan semua isi percakapan itu kepada ayah dan ibu. Merekapun menghiburku, lalu mengajakku makan siang bersama.

***

Dua minggu berlalu, kini tiba saatnya bagiku untuk kembali ke sekolah, bertemu dengan buku-buku pelajaran baru, teman-teman, dan terutama.. ini yang paling aku tunggu, beretemu dengan bu Roy. Aku sungguh tak sabar untuk bertemu dengannya dan menanyakan perihal peringkatku itu, dengan harapan besar bahwa memanglah betul terjadi kesalahan dalam penghitungannya.

Aku berjalan dengan cepat menuju ruang guru. Sesampainya disana, akhirnya kulihat bu Roy yang sedang duduk dimejanya sambil merapikan buku-bukunya dari pintu masuk. Aku langsung berlari menghampirinya. Dia lalu mengangkat wajahnya, dan kemudian tersenyum.
“Oh iya Ta, ibu baru pulang tadi malam, jadi belum sempat cek nilai kamu, kamu boleh cek sendiri aja yah, ini ibu kasih soft copy-nya.” Kata bu Roy sambil mengasongkan sebuah flash disk berwarna merah dengan bandul yang berbentuk rubik mini kepadaku. Aku pun menerimanya dengan segera.
“Oh, iya bu, makasih bu..” Ucapku, lalu menyalaminya dan langsung pergi ke lab komputer.
Sesampainya di lab komputer, dan setelah mendapatkan ijin untuk menggunakan komputernya  oleh pak guru, aku pun langsung mencari data nilai kelasku. Hingga akhirnya kutemukan satu dokumen yang bernama “Nilai akhir semester 5 kelas XII-2” di dalamnya. “Ini dia”  Ucapku dalam hati. Tanpa pikir panjang akupun langsung membukanya, kucari satu persatu namaku didalamnya. Hingga akhirnya kutemukan namaku, Lalu kuperhatikan setiap detil dari nilaiku, dan kucocokkan dengan nilai di raporku.
Dan ternyata benar dugaanku, “Ini dia, jadi ini yang bikin aku jadi peringkat lima,”  Gumamku sambil tersenyum. Ternyata nilai Kimiaku hanya ditulis 7 disana, padahal nilaiku 75. Dalam akumulasi nilai rapor, selisih 1 angka saja bisa membuat kita berbeda peringkat, apalagi 68 yang tak terhitung. Aku begitu senang mengetahuinya.
Lalu aku berfikir, “Disini kan semua nilai dari anak satu kelas bisa aku ketahui, kenapa aku ga liat nilai peringkat satu? Kalo gitu kan aku bisa tau nilai siapa yang lebih tinggi”. Lalu aku mencari nama Ridho Lesmana, juara satu dikelasku, lalu tak berapa lama aku temukan namanya dan langsung menghitung akumulasi nilainya. Dan betapa bahagianya aku setelah mengetahui bahwa ternyata nilainya lebih rendah dariku.
“Yeesssssss………!” Ucapku dengan nada yang sedikit tinggi sambil tersenyum dengan lebar. “Akhirnya.. Ayah, Ibu, Aku bisa juga jadi peringkat satu J, peluangku untuk diterima di perguruan tinggi menjadi lebih besar, dan impianku benar-benar bisa terwujud. Aku juga bisa membanggakan ayah dan ibu… J, ya Allah terimakasih banyak, J Riangku dalam hati sambil tersenyum :)

Taklama belpun berbunyi, aku langsung keluar dari lab, dan berjalan menuju kelas dengan riangnya. Setiap pelajaranpun kulalui dengan penuh semangat. Aku merasa seolah-olah jalan yang selama ini ku anggap gelap dan tak mungkin untuk telusuri, dan yang tak ku ketahui arah mana yang harus kupilih, kini telah membuka gerbangnya, menyinari jalannya, dan menunjukkan arahnya. Seakan jika mimpiku adalah bintang, tak perlu ku terbang untuk meraihnya, tapi cukup mengulurkan tanganku, dan diapun berada dalam genggamannku.

Akhirnya tiba waktunya untuk pulang. Dengan berlari kecil, aku pergi menuju ruang guru. Dan kutemui bu Roy.
“Maaf bu, “ Ucapku memulai.
“Iya Ta, gimana?” Tanya bu Roy tanpa basa-basi.
“Iya bu tadi pagi saya udah liat soft copy-nya, dan setelah saya cek, ternyata nilai Kimia saya cuma di tulis 7, sedangkan nilai saya 75 bu. Berarti ada 68 nilai saya yang belum terakumulasi bu” Jelasku.
“Oh, gitu yah? Terus gimana dong fit? Tadi pagi ibu udah kasih semua persyaratan kamu untuk ikut jalur Bidik misi ke bu Dina. Dan katanya jam 10 tadi udah dikirim. “ Jawab bu Roy
“Oh, sudah dikirim ya bu…” Jawabku pelan dengan raut wajah yang sedih.
“Hm.. kalo menurut ibu ya Ta, peringkat itu bukan masalah, lagipula, kamu kan tetap bisa ikut jalur Bidik misi meskipun kamu peringkat lima?”  Kata bu Roy sedikit menenangkanku.
“Iya bu, ya udah bu, saya permisi..” Ujarku mengakhiri  percakapan. Lalu pergi setelah memberi salam. Dan menemui Gita sahabatku yang seperti biasanya tengah menungguku di gerbang.
“Aku bener-bener ga percaya sama semua ini. Gimana bisa bu Roy ngasih persyaratan itu ke bu Dina sedangkan dia tau kalo aku lagi ngecek nilainya? Dan kenapa dia ga ngerasa heran sedikitpun waktu dia tau kalo ada yang salah dalam penghitungannya? Kenapa dia ga ngajak aku buat liat nilai itu bareng-bareng? Kenapa dia ga nyaranin buat kirim ulang persyaratan itu? KENAPA….?! KENAPA…?! KENAPAAAAA..?!”  Teriakku dalam hati.
“Semua ini aneh, kenapa serba kebetulan? Abis bagiin rapor, dia pergi ke Medan. Terus, waktu pertama datang ke sekolah, dia bilang baru pulang malam harinya, jadi ga sempet meriksa, emangnya butuh waktu berapa jam sih buat sekedar meriksa nilai doang? 24 jam?!”
Pertanyaan-pertanyaan itu kini berputar dikepalaku. Seketika, aku merasa ada kebencian merasukiku.
“Doooooorrrr…!” Teriak Gita sambil menepuk bahuku. Akupun kaget bukan kepalang, kutatap wajahnya sambil memicingkan mataku dan menunjukkan raut wajah yang marah. Diapun langsung minta maaf dan setelah itu kami tertawa bersama-sama. Entahlah apa yang kami tertawakan, mungkin kami rindu untuk tertawa bersama.
“Eh Ta, tau ga, katanya nih, si Ridho nyogok loh buat dapet peringkat satu, parah yah tu anak. Dan katanya juga, dia bakalan sekolah diluar loh…” Kata Gita kepadaku.
“Hah? Serius…?? Kata siapa? Jangan becanda deh…!” Tanyaku penasaran.
“Iya, serius, aku tau dari Andri, dia kan teman dekatnya Ridho,” Jelas Gita.
“Oh, gitu yah..” Ucapku sambil menganggukkan kepalaku perlahan.
“Tapi Ta, kalo si Ridho nyogok… terus siapa yah peringkat satu yang senenarnya di kelas?” Tanya Gita kemudian.
Aku menjawabnya dengan mengangkat kedua pundakku keatas, yang berarti “Entahlah…”. Lalu kamipun melanjutkan perjalanan pulang.

***

Sesampainya dirumah, akupun langsung mengganti pakaianku. Lalu berlari kecil menuju sebuah pohon Kapuk besar sahabatku, dan kemudian naik keatasnya. Udara diatasnya begitu sejuk, angin berhembus pelan, dan sinar matahari menerobos masuk dari celah dedaunan. Saat itu terlintas dalam bennakku kejadian tadi siang di ruang guru dan waktu pulang pulang sekolah bersama Gita.
“Sekarang aku tau, jawaban dari pertanyan-pertanyaanku itu, ternyata.. bahkan seseorang yang berjuang dari nol pun bisa dibutakan dengan harta. Kehidupanny sekarang membuatnya lupa akan masa lalunya. Membuatnya lupa, dengan kejujuran. Walaupun begitu, meski aku menerimanya, aku tetap merasa bahwa semua ini tak adil bagiku. Aku bekerja keras demi nilaiku, sedangkan orang lain? Cukup membayarnya untuk menukarnya dengan kerja kerasku. Apa memang seperti inikah kehidupan yang sebenarnya? Begitu kejam dan sulit."  Pikirku.

Kutengadahkan wajahku kelangit, kulihat awan putih disana. “Bintang itu.. bintang itu berada di baliknya, begitu jauh dariku..” Batinku sambil tersenyum getir. Seakan jatuh dari ketinggian, aku merasa kembali seperti dahulu, tak percaya dengan mimpi. Seperti pipit kecil yang berharap bisa bermetamorfosis menjadi merak yang anggun.”Sungguh mustahil..”  Batinku sambil menunduk lesu. 

Dia –Bu Roy- mengajaku terbang, mengenalkanku dengan mimpi, menari di kelilingi rasa optimisme yang besar, tapi kemudian melemparkannku dari atasnya. Aku kecewa, bahkan sangat kecewa kepadanya. Tapi aku tak ingin larut dalam kesedihan. Biarkanlah semua mengalir apa adanya.
“Satu.. Dua… Tiga… “ Ku mulai berhitung dari 1 sampai 100 sambil menutup mataku, dimana setiap hitungan, aku harus merasa lebih baik dari sebelumnya. Aku menarik nafas panjang, menghitung.. dan terus menghitung. Hingga akhirnya aku sampai pada hitungan ke 100. Kubuka mataku perlahan Sambil tersenyum lebar dan berkata dalam hati “Allah pasti punya rencana yang indah untukku”

***

Empat bulan berlalu, kini tiba saatnya pengumuman Bidik misiku. Sore itu, aku naik lagi ke pohon sahabatku sepulang sekolah. Aku naik dengan cepat, jantungku berdegup dengan cepat. Kuambil handphone dari saku kemejaku, kubuka website-nya dan kuketikkan namaku juga tanggal lahirku sebagai password-nya. Kubuka mataku dan kuperhatikan dengan teliti. Seketika kelopak mataku melebar, begitu juga dengan senyumku.
“Yeeeesssssss… Yeeeeesss………!!!!!!!” Teriakku sekencang-kencangnya dari atas pohon sambil berdiri dan tersenyum dengan penuh kemenangan.
“Aku diterima, Ayah, ibu, aku diterima… Ya Allah, terimakasih untuk rencanamu yang begitu indah ini,” Ucapku dalam hati. Kutengadahkan kembali wajahku kelangit, lalu berkata, ”Bintang, kini memang kau tak terlihat, aku juga tau bahwa kau begitu jauh dariku, tapi aku yakin, aku bisa menggapaimu, karena aku punya mimpi, dan keyakinan untuk mewujudkannya.” :)

The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar. Kritik dan saran sangat diharapkan dan dihargai. Salam Blogger Indonesia.