Berdebat dan Tidak Berdebat

 

Suatu hari aku berdiskusi dengan adikku perihal perdebatan ini. Diantara pilihan berdebat atau tidak berdebat, di keluarga kami biasanya yang dipilih adalah tidak berdebat. Kami menghindari perdebatan, menghindari konflik. Yang sebetulnya membuat keadaan menjadi tidak sehat.

Hari itu, sayangnya yang kuingat hanya dua tipe perdebatan, yaitu fact tennis dan look squirrel. Aku menjelaskan singkat dan seingatnya kepadanya tentang dua tipe debat diatas. Tapi karena sebetulnya ada empat tipe debat dari buku yang aku baca, maka akan kusampaikan disini sebagai pengingat juga sebagai catatan. 

1. Fact Tennis

Dalam gaya perdebatan tenis fakta ini, yang terjadi adalah masing-masing pihak saling melempar alasan melewati jaring, berusaha mengumpulkan alasan sebanyak mungkin untuk memukul. Sampai akhirnya perdebatan berakhir ketika salah satu diantaranya kehabisan jawaban dan dianggap “kalah”. 

Tujuan konflik jadi bergeser tentang pihak mana yang mengantongi poin lebih banyak, bukannya mencari solusi yang bisa diterapkan, mencoba memahami perbedaan dan berkompromi, bukan siapa yang akan menang. 

2. Look Squirrel

Atau baca dengan nada : Look, there’s a squirrel! Yup, gaya yang kedua adalah pengalihan atau distraksi. Ini terjadi ketika kita mengubah topik daripada membicarakan sesuatu yang menggangu kita atau orang lain. Sebetulnya menunda untuk membahas sesuatu mungkin tidak salah, tetapi menghindari pembahasan tentang perbedaan tidaklah baik. Jika semua konflik dihindari, maka kedekatan juga cenderung dihindari. Semua akan menahan diri, sehingga yang timbul adalah kesenjangan, terciptalah jarak diantara pihak. 

3. Martir

Tidak banyak penjelasan tentang satu gaya ini di buku yang aku baca. Tapi aku ingat pernah membahasnya dengan seorang teman, dulu sekali. Kami menamainya “excuse” atau “pemakluman”. Saat seseorang berbuat salah, atau ada hal yang membuat kami tidak nyaman, biasanya kami membiarkannya, tergantung level kesalahannya atau ketidaknyamanannya. Tapi itu tidak cuma-cuma. Aku tidak tahu prinsip temanku saat itu, tapi bagiku, aku menghitung pemaklumanku sampai aku sudah tak mampu lagi dan yang kemudian terjadi adalah gaya terakhir : penuntut, yang kemungkinan besar jika berlanjut akan menjadi tipe perdebatan fact tennis. 

4. Penuntut

Menyerang. Hanya itu penjelasan yang tertulis dibuku. Aku sempat mengingat gaya keempat ini sebagai algojo, karena yang kubayangkan adalah serangan yang aktif dan intens. Mungkin bertubi-tubi, mungkin tanpa celah, sangat mungkin tak terbantahkan. Dan daya rusaknya terhadap hubungan juga pasti sangat parah. Tapi ini hanya pendapatku, aku sudah mencari ke beberapa sumber tapi tidak menemukan materi yang sesuai, jadi sampai tulisan ini diedit, sementara seperti itu persepsiku. 

Diantara empat jenis perdebatan ini, tidak ada satupun yang bisa menciptakan suasana yang hangat dalam hubungan. Lalu idealnya apa yang harus kita lakukan ketika terjadi konflik? Pertama, lakukan satu-satu. Mulai dari bagaimana perasaan kita tentang masalah yang terjadi. Pahami perasaan kita, dan komunikasikan. 

Ini yang aku sering salah, tips praktis dalam berdebat yang diberikan buku ini adalah mengomunikasikan tujuan kita dengan “pernyataan aku” seperti misalnya, “Aku merasa kesal kalau kamu lupa buang palstik bungkus jajanan ke tong sampah, karena rumah jadi terasa berantakan.” Kadang yang aku ucapkan adalah “Kamu tuh sellaaaaaalluuuuu aja buang sampah sembarangan, kan jadi kotor!” Meski sudah beberapa kali sebetulnya menemukan pembahasan ini, aku masih sering kelepasan, meskipun yang harus tetap aku syukuri adalah bahwa tepat setelah kalimatnya keluar dari mulutku, aku langsung menyadarinya dan berjanji untuk sebisa mungkin berusaha untuk tidak mengulianginya :3 

Baru langkah selanjutnya adalah mencari tahu dan mengakui perasaan orang lain. Karena jika kita belum mengomunikasikannya, yang bisa kita lakukan hanyalah menebak-nebak, mungkin kita bisa mencoba berpikir positif tapi tak jarang pikiran negatif juga ikut masuk. Padahal, perbedaan-perbedaan dalam hubungan itu sangat wajar dan tidak terelakkan. 

Memang, tidak ada cara yang dijamin berhasil mendapatkan apa yang kita inginkan ketika kita menyuarakan pendapat atau mungkin komplain. Tapi, hubungan yang baik bukanlah manipulasi, melainkan menjalinnya dengan baik. Terbuka terhadap perasaan dan keinginan dapat membantu kita memiliki hubungan yang baik. 

Okay, sekian untuk hari ini, sampai jumpa dilain waktu ^^

Stay healty, stay happy ya everyone! ♥


Sumber : The book You Wish Your Parents Had Read, hal. 51-56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar. Kritik dan saran sangat diharapkan dan dihargai. Salam Blogger Indonesia.