Rupture and Repair


Merusak dan memperbaiki. Sebetulnya ini dibahas di bagian awal sekali buku ini. Tapi entah bagaimana aku ingin bercerita tentangnya saat ini, setelah aku membaca separuh bukunya, dan ya bahkan bukunya belum selesai aku baca semua.

Tapi “Rupture and Repair” ini terus berputar dikepalaku meminta untuk kutumpahkan. 

Dipertengahan buku ini ada kisah seorang ibu yang melahirkan anak kembar laki-laki. Menjelang satu bulan sebelum kelahiran, dikabarkan salah satu bayinya tidak bergerak. Menurutnya, saat persalianan adalah saat paling traumatis bagi dia dan kedua bayinya. Salah satu bayinya lahir dengan kondisi baik, sedangkan bayi lainnya harus diinkubator. Bayi yang sehat diperbolehkan pulang, sedangkan sang ibu dan bayi lainnya harus tinggal bersama di rumah sakit selama satu bulan. 

Selama ibunya di rumah sakit, setiap kebutuhan bayi yang lahir dengan baik, dipenuhi oleh pengasuh karena sang ayah sibuk bekerja. 

Namun hal yang membuatku sedih adalah ketika sang ibu pulang, ia belum bisa menerima kenyataan bahwa ia adalah ibu dari dua anak kembar. Diceritakan bahwa ia tidak merasa terikat dengan bayi yang berada dirumah, bahkan dia berpikir bahwa itu bukanlah bayinya, melainkan bayi sang pengasuh. Lama dia melarikan diri dari perasaanya, sering keluar rumah, rutin clubbing hingga larut malam. Sampai kemudian kedua anaknya berusia empat tahun, barulah dia menyadari perasaannya dan menerimanya. 

Namun waktu, tidak bisa diputar kembali. Saat ini anaknya sudah berusia 10 tahun. Sang ibu kini sudah memiliki 4 orang anak. 3 anaknya tergolong ceria, namun 1 anaknya tumbuh menjadi anak pencemas dan tidak mandiri, dan merasa tidak mudah bersosialisasi. Kamu tentu saja bisa menebak, ia adalah anak yang mana. Untuk dicintai, ia harus bekerja keras. Ia bahkan akan melakukan apapun untuk saudaranya meskipun saudaranya tidak/setidaknya belum membalas kebaikannya. 

Rasa rendah dirinya disebabkan karena perpisahan dengan ibunya pada usia dini, dan ketika ibunya kembali, ia merasa asing. Diceritakan olehnya, bahwa sang anak hanya merasa lebih rileks ketika ia berdua saja dengannya, hanya saja ini tidak mudah karena ia memiliki 4 orang anak dan juga sebagai ibu yang bekerja. 

Namun, ini yang paling aku suka. Setiap satu kali dalam seminggu, dia dan sang anak akan datang ke kelas seni berdua saja. Atau, jika kelasnya libur, mereka tetap memastikan menghabiskan waktu dua jam itu untuk membuat karya seni bersama-sama. Hanya berdua saja. 

Perlahan-lahan, sang ibu menambal kerusakan yang dulu terjadi dengan menghabiskan waktu sebanyak mungkin bersama, hingga akhirnya ikatan mereka menjadi lebih kuat, perasaan aman sang anak dalam hubunganpun meningkat.

Sebagai penutup, ada satu kutipan dari pembahasan ini yang aku garis bawahi, yang aku berharap akan terus aku ingat, agar aku terus sadar dan terus memperbaiki diri. Katanya :

“Ketika membesarkan anak, kita hanya boleh melakukan yang terbaik. Namun, menjalin hubungan yang baik dengan anak-anak, yang penting bukan kerusakannya, tetapi bagaimana cara kita memperbaikinya.”  – The book you wish your parents had read, hal. 157

Aku tidak sepenuhnya setuju sih, karena bagiku, kerusakannya juga penting untuk kita perhatikan agar kita lebih waspada sehingga kita tidak mengulanginya di masa yang akan datang. Memang, tidak ada manusia yang sempurna, tidak ada orang tua yang sempurna, juga tidak ada pengasuhan yang sempurna. Tapi, melakukan yang terbaik, itu harus. 

Sekian tulisan kali ini, dan sampai jumpa di next post ♥

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar. Kritik dan saran sangat diharapkan dan dihargai. Salam Blogger Indonesia.