Mimpi

Beberapa hari lalu, aku mendengarkan sebuah podcast sambil bekerja. Nama podcastnya “Suara Berkelas” dengan Dee Lestari – seorang penulis, sebagai narasumbernya. Ada dua poin yang cukup menarik bagiku dari podcast ini. Yang pertama adalah perihal mimpi. Katanya, jika waktu bisa diputar kembali mereka ingin bertanya pada ibu mereka apa mimpinya di waktu muda.

Ada dua hal yang terbersit di kepalaku terkait hal ini. Yaitu aku sebagai anak, dan aku sebagai ibu.

Sebagai seorang anak, jujur, aku pernah terpikir tentang hal ini, tapi aku tidak pernah bertanya. Salah satu alasannya karena aku khawatir bisa membuatnya sedih, karena di usia yang masih belia, beliau harus menghentikan pendidikannya karena harus menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya, sampai kemudian hadirlah aku setahun kemudian :3 tapi tenang saja, mereka akhirnya saling mencintai dan hidup bersama sampai hari ini – dan insyaAllah sampai seterusnya, yang tentu saja dengan semua dramanya :’)

Lalu aku sebagai seorang ibu.. rasanya sedikit mendebarkan membayangkan anakku bertanya mimpiku di usia muda. Sejujurnya, di usia 20-an aku bisa dikatakan tidak terlalu memiliki ambisi untuk menjadi sesuatu. Aku lulus dari sekolah tinggi di usia 22 tahun. Setelah itu, seperti sebagian besar fresh graduate aku juga mencari pekerjaan. Ironisnya, bukan hanya tidak mendapatkan pekerjaan, aku juga untuk pertama kalinya tertipu lembaga outsourcing. Yah, tidak banyak memang, tapi tetap saja rasanya memalukan XD Dari sana, aku mulai membangun bisnis kecil-kecilan, yang alhamdulillah ternyata bisa bertahan sampai hari ini.

Kalau diingat-ingat, mimpi pertamaku adalah saat aku duduk di kelas 2 SMP. Aku ingin menjadi pelukis. Sempat beberapa kali ikut ekskul melukis, sampai menyisihkan uang saku untuk membeli peralatan, akhirnya aku berhenti begitu orang tuaku mengetahuinya. Tak lama dari sana, aku ingin menjadi penulis. Aku ingat aku pernah duduk di ruang terbuka di suatu sore di halaman rumah masa kecilku, dengan buku dan pena di tanganku. Jelas aku lupa apa isinya, tapi yang kuingat aku tengah membuat puisi. Ternyata, kecintaanku pada alam, duduk sendiri di keheningan, memang sudah kupunya sejak kecil.

Namun sayangnya, mimpi keduaku itu, juga ditolak. Lama aku merasa tidak adil atas kedua penolakan itu. Tapi setelah aku tumbuh dewasa, maksudku, setidaknya setelah aku tumbuh bertambah tua, aku menyadari perspektif mereka. Dimasa itu, memangnya apa sih yang bisa dihasilkan dari melukis dan menulis? Bahkan di masa sekarang saja, dengan minat baca yang begitu rendah, berapa sih penghasilan penulis? Jujur saja, kecil. Dengan keterbatasan ekonomi, sangat wajar jika mimpiku saat itu juga diukur dari seberapa banyak manfaat yang bisa diberikan profesi dari “mimpi” itu untuk memperbaiki taraf kehidupanku? Kecil. Jadi memang, itu pilihan yang lebih realistis.

Lama setelahnya, aku tak lagi punya mimpi. Tapi, yang aku sadari, aku selalu mencoba mencari hal yang aku suka dari pilihan-pilihan yang tersaji untukku. Saat aku merasa salah jurusan saat kuliah, karena aku mengambil manajemen padahal aku anak IPA, aku berpikir, setidaknya ada materi akuntansi yang bisa membuatku berhitung, karena aku suka matematika. Sampai akhirnya aku memilih konsentrasi pemasaran di akhir kuliahku yang menuntunku memulai bisnis, kamu tahu part terbaiknya? Saat ini, meski hanya sebagian kecil dari produkku, aku mendesignnya sendiri. Yah bukan di level tinggi ya, hanya custom-custom sederhana, harganya juga tidak mahal. Tapi kamu tahu, melakukannya membuatku bahagia.

Secara tidak langsung, mimpi melukisku terwujud. Lalu mimpi menulisku juga. Aku bertrimakasih sekali kepada seorang teman yang menyarankanku menulis di akhir 2020 lalu, awal mulanya aku aktif kembali menulis blog. Kalau dilihat lagi, postinganku saat itu lebih banyak puisi, karena memang kalau diingat lagi, aku yang lima tahun lalu itu, memang tidak mampu meregulasi emosi dengan baik. Pun hari ini, aku masih tetap belajar. Dan begitulah caraku memberi tahu dunia tentang apa yang aku rasakan saat itu.

Sampai saat ini aku merasakan ada kebahagiaan tersendiri saat aku melihat arsip di sidebar blogku, melihat tahun dan jumlah artikel yang aku buat dalam satu tahun itu. Niatnya, aku ingin menulis setidaknya satu bulan satu artikel, padahal beberapa bulan terakhir – diluar ekspektasi, ternyata aku berhasil menghabisnya beberapa buku. Bahkan ada satu draft yang sebetulnya sudah rampung, tapi entah bagaimana, aku merasa enggan untuk mempublishnya. Mungkin karena tidak buru-buru aku publish aku jadi merasa kehilangan timing. Tapi apapun itu, meski jarang punya waktu untuk menulis, aku senang bisa tetap melakukannya. Senang rasanya bisa berbagi cerita dengan siapapun kalian yang membacanya – jika ada XD

Kemudian, setelah lama berpikir, aku yang saat ini berusia 31 tahun, sejak beberapa tahun terakhir, ternyata punya satu mimpi. Mimpi ini berkaitan dengan hal nomor dua yang menarik dari podcast yang aku sebutkan di awal, dan sempat aku singgung juga sedikit sebelumnya, yaitu terkait minat baca kita yang rendah. Aku punya mimpi untuk membuka toko buku dan perpustakaan di daerahku.

Dalam podcast itu narasumber ditanyakan perihal minat baca kita yang rendah, tapi jujur jawabannya tidak memuaskan bagiku. Karena menurutku jawabannya cenderung kepada menolak fakta bahwa minat baca kita memang rendah. Dikatakan olehnya, orang masih mau sih baca buku yang tebal-tebal asalkan buku tersebut bisa mengikat atensi mereka. Tapi kan orang tidak mau baca buku bukan hanya karena bukunya tidak bagus. Ada baaaanyaaak sekali faktor yang harus kita perhitungkan kalau kita ingin lebih objektif.

Sebelum tulisan ini dibuat, kebetulan sekali lewat di feed instagramku perihal kesenjangan literasi yang memuat setidaknya 5 alasan kenapa minat baca kita rendah. Dan kamu tahu, 3 diantaranya berkaitan dengan uang, buku itu mahal temen-temen. Dituliskan disana bahwa harga buku itu bisa sampai 2-3% dari gaji UMR, ada yang nunggu bazar biar harganya jauh lebih murah, ada juga yang lebih milih pinjam teman.

Aku jadi teringat satu diskusi dengan seorang teman gen Z beberapa waktu lalu, kebetulan kami memiliki ketertarikan yang sama perihal membaca. Tapi di pertengahan diskusi, dia berkata bahwa dia sudah tidak beli buku lagi, karena too expensive. Dan aku setuju, karena itu juga alasanku sekitar setahun lebih tidak membeli  buku. Meski yah akhirnya akhir tahun kemarin aku mulai beli lagi demi menjaga kewarasan :D

Kemudian, 2 poin lain terkait kenapa minat baca kita rendah adalah karena akses dan budaya baca. Harus kita akui akses kita untuk mendapatkan buku, baik itu meminjam ataupun membeli, itu sulit. Setidaknya, itulah yang terjadi di daerahku, di Cikarang, menurutku.

Jadi teringat lagi diskusiku lainnya dengan seorang ibu paruh baya, yang jujur saja aku tidak berekspektasi bahwa beliau ternyata suka membaca. Beliau memang perantau, asalnya dari Indonesia timur, merantau ke Jakarta, lalu kemudian pindah ke Cikarang. Dan salah satu yang beliau keluhkan adalah aksesnya yang sulit, serba jauh. Di area yang cukup padat dan ramai, umumnya di sekitar perumahan kadang memang ada toko buku, tapi sebetulnya yang dijual lebih ke ATK, ada juga yang dominannya buku pelajaran, ada juga yang dominan komik. Jadi memang sulit sekali. Kalau bukan di Mall, ya tidak ada lagi pilihan bacaannya.

Dulu ketika aku kuliah, ada 2 toko buku di Mall Lippo Cikarang, yang sebetulnya menurutku keduanya juga tidak begitu lengkap, bahkan satu diantaranya justru lebih cenderung ke arah menjual ATK juga. Lalu di kemudian hari saat aku kesana lagi, satu diantaranya tutup. Tak lama dari sana, District 1 Meikarta sudah mulai ramai, senang sekali ternyata disana ada Books & Beyond. Aku sempat kesana beberapa kali. Tapi akhir tahun kemarin, saat aku mau mulai baca buku lagi, ternyata sudah tutup juga.

Tapi ada berita baiknya memang, karena Gramedia akhirnya buka di Cikarang, tepatnya di Pollux Mall tepat beberapa minggu sebelum aku mulai cari buku. Sayangnya, memang balik lagi ke awal, harganya sama sekali tidak ada diskon. Meski sempat beberapa kali kesana, akhirnya aku kembali beli buku di online saja karena lebih murahh, haha.

Gramedia Pollux Mall (Source : doc. pribadi)

Nah, dari sinilah aku mulai berpiikir, mungkin sebenarnya minat baca kita memang kurang bukan karena kita tidak ingin membaca, karena budaya membaca atau kebiasaan membaca itu ditumbuhkan dan dilatih, bukan bakat dari lahir. Tapi minat baca kita rendah, mungkin, karena kita memang tidak memiliki lingkungan yang mendukung untuk kita bisa memiliki akses pada bahan bacaan yang memadai. Dan, itulah salah satu mimpi besarku, bisa menyediakan akses yang lebih mudah dan murah, atau bahkan gratis karena bisa dipinjam jika punya perpustakaan suatu hari nanti, insyaAllah. Sehingga dengan mudahnya akses, semoga menjadi pintu terbentuknya budaya membaca kita.

Aku rasa sampa disini saja tulisan kali ini, tak disangka akan sepanjang ini. Sampai jumpa di post selanjutnya ^^

PS: Untuk putri kecilku, ini jawaban mama ya dek kalau-kalau kamu penasaran suatu hari nanti, haha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar. Kritik dan saran sangat diharapkan dan dihargai. Salam Blogger Indonesia.